KISAH NYATA SI RESEPSIONIS HOTEL….

Satu Kisah Nyata, yang kadang saya ulang membacanya karena akan meremind kembali semangat kerja…Semoga bermanfaat…

Suatu malm ada seorang pria tua & istrinya memasuki sebuah lobi hotel kecil di Philadelphia.

“Semua hotel besar di kota ini telah terisi, bisakah kau memberi kami satu kamar saja..?” kata pria tua itu.
Pegawai hotel menjawab “Semua kamar telah penuh karena ada 3 event besar yg bersamaan diadakan di kota ini, mmm….tapi saya tidak dapat menyuruh pasangan yg baik seperti Anda untuk berhujan2 di luar sana pada pukul satu dini hari seperti ini, …JIka tidak keberatan, bersediakah anda berdua tidur di kamar saya..?”

Keesokan harinya pada saat membayar tagihan, pria tua itu berkata pada si pegawai hotel “Kamulah orang yang seharusnya menjadi bos sebuah hotel
terbaik di USA, karena kamu melakukan pekerjaanmu dengan hati yang mau melayani, mungkin suatu hari saya membangunkan sebuah hotel untukmu”.

Pegawai hotel itu hanya tersenyum lebar melupakan kata2 pria tua itu, ….dia berterima kasih tapi apapun ceritanya bagaimana mungkin pikirnya, ….dirinya hanyalah seorang pegawai biasa.

Kira2 dua tahun kemudian, dia menerima surat yg berisi tiket ke New York permintaan agar dia menjadi tamu pasangan tua tersebut.

Setelah berada di New York, pria tua itu mengajak pegawai hotel itu ke sudut jalan antara Fifth Avenue Thirty-Fourth Street, dimana dia menunjuk sebuah bangunan baru yg luar biasa megah dan mengatakan: “Itulah hotel yg saya bangun untuk kamu kelola….”.

Pegawai hotel itu adalah George Charles Boldt, yg menerima tawaran William Waldorf Astor, si pria tua itu, untuk menjadi pimpinan dari hotel Waldorf-Astoria, New York, yg hingga saat ini masih merupakan hotel terbaik di dunia.

Ternyata sikap kita dalam bekerja sangat menentukan keberhasilan kita,
Bila kita bekerja hanya untuk mencari uang semata, maka karier/hasil yang kita peroleh akan biasa saja.

Namun jika kita bekerja dengan hati, untuk urusan apapun, dalam hal apapun, sebesar atau sekecil apapun…selal mau melayani orang lain,setinggi apapaun jabatan kita…. dengan motivasi bahwa pekerjaan kita harus menjadi berkah buat orang lain, maka kita akan memperoleh hasil yang luar biasa…InsyaALLAH…

Semoga bermanfaat, barakallah fiikum…

(ceritaa darii kampuung sebeelahh) ^^

SAYA BELAJAR BERTERIAK…

Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi disana. Setiap anak mendapat peran, dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil terbaik dalam pentas. Sementara di depan panggung, semua orang tua murid ikut hadir dan menyemarakkan acara itu.

Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orang tua dan guru kerap terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.

Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak tampak berdebar dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam komat-kamit mereka berdoa, supaya Pak Guru akan menyebutkan nama mereka, dan mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.

Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah nama. Ahha… ternyata, anak yang menjadi pak tua pemarah lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orang tua menatap sekeliling, menatap ke seluruh hadirin. Mereka bangga.

Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya kepada sang “jagoan, “Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya, sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak heran jika kamu terpilih menjadi yang terbaik..” tanya Pak Guru, “Coba kamu ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini..”.

Sang anak menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus berterima kasih kepada Ayah saya di rumah. Karena, dari Ayah lah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah lah saya meniru perilaku ini. Ayah sering berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah seperti Ayah.” Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak mulai melanjutkan, “..Ayah membesarkan saya dengan cara seperti ini, jadi peran ini, adalah peran yang mudah buat saya…”

Senyap. Usai bibir anak itu terkatup, keadaan tambah senyap. Begitu pun kedua orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.

***

Teman, setiap anak, adalah duplikat dari orang di sekitarnya. Setiap anak adalah peniru, dan mereka belajar untuk menjadi salah satu dari kita. Mereka akan belajar untuk menjadikan kita sebagai contoh, sebagai panutan dalam bertindak dan berperilaku. Mereka juga akan hadir sebagai sosok-sosok cermin bagi kita, tempat kita bisa berkaca pada semua hal yang kita lakukan. Mereka laksana air telaga yang merefleksikan bayangan kita saat kita menatap dalam hamparan perilaku yang mereka perbuat.

Namun sayang, cermin itu meniru pada semua hal. Baik, buruk, terpuji ataupun tercela, di munculkan dengan sangat nyata bagi kita yang berkaca. Cermin itu juga menjadi bayangan apapun yang ada di depannya. Telaga itu adalah juga pancaran sejati terhadap setiap benda di depannya. Kita tentu tak bisa, memecahkan cermin atau mengoyak ketenangan telaga itu, saat melihat gambaran yang buruk. Sebab, bukankah itu sama artinya dengan menuding diri kita sendiri?

Teman, saya ingin berpesan kepada kita semua, “berteriaklah kepada anak-anak kita saat kita marah, maka, kita akan membesarkan seorang pemarah. Bermuka ketuslah kepada mereka saat kita marah, maka kita akan membesarkan seorang pembenci, dan biarkanlah mulut dan tangan kita yang bekerja saat kita marah, maka kita akan belajar menciptakan seorang yang penuh dengki…”

Peran apakah yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak kita saat ini? Contoh apakah yang sedang kita berikan kali ini? Dan panutan apakah yang sedang kita tampilkan? Teman, percayalah, mereka akan selalu belajar dari kita, dari orang yang terdekatnya, dari orang yang mencintainya. Merekalah lingkaran terdekat kita, tempat mereka belajar, menerima kasih sayang, dan juga tempat mereka meniru dalam berperilaku.

Saya berharap, bisa menjadi orang yang sabar saat melihat seorang anak menumpahkan air di gelas yang mereka pegang. Saya berharap menjadi orang yang ikhlas, saat melihat mereka memecahkan piring makan mereka sendiri. Sebab, bukankah mereka baru “belajar” memegang gelas dan piring itu selama 5 tahun, sedangkan kita telah mengenalnya sejak lebih 20 tahun? Tentu mereka akan butuh waktu untuk bisa seperti kita..

SEMOGA KITA BISA MENJADI CONTOH YG BAIK BAGI ANAK DAN KELUARGA KITA, AMIIIN….Barakallah fiikum…

(kiriimann darii kampungg sebelahh)